24.2.12

Karut Marut Pendidikan Kita (2)

Dua hari yang lalu saya mendapat pesan teks dari tante saya. Begini kira-kira bunyinya, "Ta, Io nggak diterima di SD XXX."  Kemarin saya baru sempat ketemu dengan tante saya itu. Saya tanya alasan tidak diterimanya. Dari awal, saya sudah agak malas dengan sekolah swasta ini karena mengharuskan anak dites baca-tulis. Kok seperti mau masuk universitas saja, pikir saya. Wong di TK juga tidak ada kurikulum yang mengharuskan anak sudah dapat membaca dan menulis sejak awal. Ternyata, alasannya bukan karena sepupu saya itu gagal dalam tes baca-tulis, melainkan karena sumbangan yang diharuskan oleh sekolah tersebut kurang (sumbangan kok diharuskan?). Saya tambah kaget. Kemudian, berceritalah tante saya. Ketika datang untuk wawancara orangtua (calon) wali murid, sementara si anak dites baca tulis, tante saya ditanya oleh gurunya. "Ibu, ini mau nambah nggak?" Iya, tanpa babibu langsung ditanya kesanggupan mau menyumbang berapa (sumbangannya bertingkat dari 4jt rupiah hingga 5jt, sementara tante saya memilih pilihan yang paling kecil), itu masih ditawar, mau nambah tidak. Tante saya hanya menjawab, "Itu saja dulu, Bu...nanti saya cicil dua kali." Si guru dengan muka datar hanya berkata "O, ya sudah. Silakan menunggu di luar." Tante saya cuma plenggongan, "Sudah ini, Bu, wawancaranya?" Si guru menjawab, "Iya, sudah."

Dan keesokan harinya diumumkan jika sepupu saya itu tidak diterima di sekolah tersebut. Tante saya langsung lemas. Iya, kalau sudah begini, pasti lebih sulit mencari sekolah lagi. Oke, apa sih yang mau saya bahas sebenarnya? Pertama, tes baca-tulis yang diharuskan bagi calon siswa. Seingat saya, zaman dulu tidak ada tes baca-tulis seperti ini. Asal siswa cukup umur untuk mengikuti pelajaran di SD, ya sudah, anak boleh mendaftar ke SD. Lagipula, pembelajaran di TK juga tidak ditujukan agar anak dapat membaca dan menulis (saya tahu ini karena ibu saya, dan kebetulan tante saya itu mengajar di TK). Di TK, anak hanya distimulasi agar perkembangan motorik dan psikomotoriknya maksimal. Apa tes ini untuk memudahkah guru? Bukankah seyogyianya tugas guru mengajari muridnya yang tidak bisa? Apalagi, ini masih kelas 1 SD. Di negara maju, anak SD tidak dibebankan pelajaran seperti anak SD di sini. Terlalu berat menurut saya, kasihan.

Kedua, bagaimana bisa yang katanya sekarang sekolah digratiskan kok masih ada pungutan seperti itu? Kalau ditanya, pasti jawabannya, "Ini kan untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah." He? tiap tahun mesti bangun kelas baru/fasilitas baru gitu? Wah...wah...nggak sekalian membangun gedung DPR sekalian ya? Okelah mereka sekolah swasta, tapi apa ya berhak mempermainkan orangtua murid seperti ini? Banyak lho dari orangtua murid ini yang hanya pegawai rendahan, dengan gaji pas-pasan. Kalau ada komentar: "Kalau nggak punya uang, mengapa disekolahkan di sekolah mahal?" Yah, setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. Nah, sekolah swasta ini "dianggap" memiliki kelebihan dibandingkan dengan sekolah negri, pelajaran agama, misalnya. Atau, ekstrakurikuler yang lengkap. Sekolah seolah menjadi ajang jual beli.

Memang, ada uang ada rupa. Tapi, kalau untuk bekal masa depan anak anak seperti ini kok sepertinya tidak rela "membeli" pendidikan.

No comments: